- Home
- Info Sehat
- Waspadai, Ini Dampak Irama Jantung Tidak Normal
Irama Jantung Tak Beraturan
Waspadai, Ini Dampak Irama Jantung Tidak Normal

Penyakit jantung membutuhkan perhatian khusus, bila detak jantung tidak normal waspadalah dan segera berobat. (Internet)
RSNEWS - Gangguan irama jantung, atau yang dikenal sebagai aritmia, merupakan kondisi medis di mana detak jantung tidak berjalan sebagaimana mestinya. Irama jantung bisa menjadi terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak beraturan.
Salah satu jenis aritmia yang sering ditemukan dan berisiko tinggi terhadap kesehatan adalah Supraventricular Tachycardia (SVT).
Kondisi ini dapat dialami oleh siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang lanjut usia, dan jika tidak ditangani, dapat membahayakan jiwa.
Menurut dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP(K), FIHA, seorang spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis aritmia dari RS Siloam TB Simatupang, SVT bisa menimbulkan komplikasi serius seperti gagal jantung, stroke, hingga kematian.
"Secara umum, aritmia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: irama jantung yang lebih cepat dari normal (tachycardia), lebih lambat dari normal (bradycardia), dan irama yang tidak beraturan (flutter)," kata dr Dony seperti dikutip ANTARA.
Untuk mengetahui detak jantung, seseorang bisa meletakkan jari di bagian pergelangan tangan pada area nadi, menghitung jumlah denyut selama 15 detik, kemudian mengalikannya dengan empat. Dengan cara tersebut, kita bisa memperkirakan detak jantung per menit atau beats per minute (bpm).
Kisaran detak jantung saat beristirahat bervariasi tergantung usia. Misalnya, pada bayi baru lahir umumnya berkisar antara 100 hingga 160 bpm, sedangkan pada remaja dan orang dewasa muda, angka normal berada di rentang 60 hingga 100 bpm.
Seiring bertambahnya usia, rentang detak jantung saat aktivitas fisik juga berubah, dan detak jantung maksimal umumnya menurun secara bertahap.
SVT sendiri ditandai dengan lonjakan denyut jantung yang sangat cepat, sering kali melebihi 150 bpm, yang bisa terjadi secara tiba-tiba meskipun dalam keadaan tenang. Detak jantung yang meningkat setelah olahraga merupakan hal yang wajar, namun bila muncul mendadak tanpa aktivitas fisik dan berlangsung lama, kondisi ini patut diwaspadai. SVT dapat disebabkan oleh perubahan struktur jantung karena proses penuaan, atau adanya kelainan pada sistem listrik jantung.
Beberapa orang yang mengalami SVT mungkin hanya merasakan ketidaknyamanan di dada tanpa menyadari bahwa detak jantungnya sedang meningkat secara drastis. Episode SVT biasanya berlangsung dalam waktu singkat, sekitar dua hingga tiga jam, dan sering kali mereda dengan sendirinya. Selama serangan berlangsung, penderita bisa mengalami rasa ingin muntah atau refleks batuk.
Jika tidak ditangani dengan baik, SVT dapat menimbulkan komplikasi berbahaya. Dalam beberapa kasus, detak jantung bisa melonjak ke tingkat yang sangat tinggi hingga menyebabkan kehilangan kesadaran.
Pada kondisi tertentu, terutama pada individu dengan kelainan sistem listrik jantung sejak lahir, denyut jantung bisa mencapai angka 300 bpm, yang berisiko menyebabkan kematian mendadak. Selain itu, gangguan irama jantung yang berlangsung lama juga dapat memicu kondisi yang lebih berat seperti atrial fibrillation, yang dikaitkan dengan risiko gagal jantung dan stroke.
Salah satu metode pengobatan yang efektif untuk SVT adalah prosedur ablasi. Tindakan ini bertujuan untuk menghentikan aktivitas listrik yang tidak normal dalam jantung dengan cara menghancurkan jaringan penyebab gangguan.
Ablasi dilakukan dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pembuluh darah besar di pangkal paha dan diarahkan menuju jantung. Dengan bantuan energi frekuensi radio, jaringan yang bermasalah akan dipanaskan hingga tidak lagi mengganggu irama jantung.
Prosedur ablasi ini memiliki tingkat keberhasilan tinggi, sekitar 90 hingga 95 persen. Tindakan ini dapat dilakukan pada berbagai rentang usia, mulai dari anak-anak berusia lima tahun hingga lansia berusia di atas 70 tahun. Meskipun prosedurnya tergolong minim invasif dan tidak memerlukan pembedahan besar, tetap ada risiko yang harus diperhatikan.
Jika jaringan yang perlu diablasi terletak dekat dengan jalur utama sistem listrik jantung, maka tindakan tersebut berisiko mengganggu fungsi konduksi alami jantung. Dalam kasus seperti ini, dokter mungkin akan merekomendasikan pemasangan alat pacu jantung untuk menjaga kestabilan denyut jantung.
Selain risiko gangguan pada sistem listrik utama, area pangkal paha tempat masuknya kateter juga bisa mengalami pembengkakan setelah prosedur. Namun dengan kemajuan teknologi medis, risiko ini dapat diminimalkan.
Saat ini, tindakan ablasi dapat dilakukan dengan bantuan pemetaan jantung berbasis dua dimensi (2D) maupun tiga dimensi (3D). Teknologi 3D memungkinkan visualisasi struktur jantung yang lebih rinci, sehingga sangat bermanfaat pada kasus-kasus SVT yang kompleks. (FSY/VOI)